Dalam perayaan hari ulang tahun yang ke-70, Arifin Panigoro menggelar acara diskusi yang bertajuk ‘Menanam Benih Kemandirian’. Salah satu yang dibahas menyangkut minyak
“Masalahnya, konsumsi energi kita terus naik, tapi produksi minyak nasional terus turun. Cadangan minyak makin sedikit,” ungkap Arifin di Energy Building, Jakarta, Sabtu (14/03/2015).
Menurut Arifin di 2014 lalu, produksi minyak nasional hanya 794 ribu barel per hari. Jumlah itu akan terus berkurang, dan diperkirakan di 2025 produksi minyak Indonesia hanya 453 ribu barel.
“Penurunan produksi ini karena banyak hal, salah satunya cadangan minyak terbukti yang tersedia saat ini hanya 3,7 miliar barel. Celakanya, upaya menambah cadangan minyak melalui eksplorasi sedang menurun, akibat harga minyak dunia sedang anjlok,” tambah Arifin.
Sehingga, menurut Arifin, butuh langkah-langkah terobosan agar masalah ini bisa dipecahkan. Arifin mengatakan, Indonesia menurut Price Waterhouse Cooper, akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-5 di dunia di 2030. Bagi Arifin, ramalan tersebut akan terwujud, bila Indonesia mempunyai pondasi ekonomi yang kokoh dan pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga.
“Ini saya harap Pak Dirman (Sudirman Said, Menteri ESDM) bisa memaparkan apa yang perlu dilakukan terkait energi ini. Karena ini kita bukan krisis energi lagi, tapi bencana energi,” tegas Arifin.
Dalam diskusi di hari ulang tahunnya ke-70, Arifin mengungkapkan Indonesia memiliki anugerah alam untuk menjawab krisis energi tersebut, yakni melalui pengembangan energi terbarukan (EBT).
“Indonesia adalah jawara produsen crude palm oil (CPO) atau minyak sawit yang mencapai 30 juta ton per tahun. Jumlah produksi CPO ini bisa ditingkatkan dengan pengembangan lahan-lahan kritis di tanah air sebagai kebun energi berbasis kelapa sawit,” kata dia.
Arifin mengungkapkan, berdasarkan studi Bappenas, saat ini ada sekitar 82 juta hektar lahan kritis yang dapat dimanfaatkan kembali sebagai lahan untuk menanam kelapa sawit sebagai kebun energi.
Sementara menurut perhitungannya, Indonesia hanya perlu 10 juta hektar saja, agar kebun energi tersebut bisa terealisasi. Sehingga, peluang bagi pengembangan EBT berbasis kelapa sawat sangat terbuka lebar.
Namun demikian, tentu hal tersebut tidak akan mungkin bisa dilakukan, tanpa ada dukungan kebijakan dari pemerintah. Untuk itu, menurutnya, keberpihakan pemerintah adalah kunci utamanya.
“Kita perlu setidaknya 10 juta hektar di antaranya untuk pengembangan green diesel berbasis kelapa sawit. Pengembangan lahan kritis sebagai kebun energi ini mesti diikuti oleh dukungan kebijakan, atau affirmative policy dari pemerintah. Baik dari sisi regulasi terkait konversi lahan kritis tersebut,” (sumber ; detik.com)
sedih.. 🙁